Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat dan Waktu

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat dan Waktu

A. Pengertian Locus Delicti dan Tempus Delicti

Locus Delicti berasal dari dua kata yakni Locus yang artinya Lokasi (Tempat) Delicti yang artinya detik atau tindak pidana. jadi Locus Delicti berarti tempat terjadinya tindak pidana. Ada tiga teori yang membahas tentang locus delicti yakni teori perbuatan materill , teori instrumen, dan teori akibat. Teori ini muncul akibat tidak mudahnya menentukan Locus Delicti. Sedangkan Pengertian dari Tempus Delicti berasal dari tempus yang artinya tempo atau waktu dan Delicti yang artinya tindak pidana. Jadi Tempus Delicti berarti waktu terjadinya tindak pidana. Teori tentang tempus delicti diperlukan untuk menentukan kapan terjadinya suatu tindak pidana. Ini penting guna menentukan apakah suatu undang - undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili suatu tindak pidana

B. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempatnya  (Locus Delicti)

Di dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP telah diatur mengenai berlakunya hukum pidana Indonesia menurut waktu (kapan dilakukannya suatu tindak pidana), Oleh karena itu selanjutnya yang perlu diketahui adalah dimana tempat berlakunya hukum pidana Indonesia tersebut, sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana tersebut diberlakukan.

Pada dasarnya kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat ini telah diatur dalam Pasal 2 s.d. Pasal 9 KUHP dimana di dalam pasal tersebut dikelompokkan menjadi empat asas, yaitu Asas teritorial, Asas personal (nasional aktif),Asas perlindungan (nasional pasif) dan Asas universal.

1. Asas Teritorial atau Asas Wilayah

Asas teritorial ini mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas tersebut merupakan asas pokok dan telah dianggap  sebagai asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu. Di dalam asas teritorial, dianut oleh Indonesia dan telah disebutkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP.

Menurut Pasal 2, yang menjadi sebuah patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, bahwa siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka akan diberlakukan hukum pidana Indonesia.

Berdasarkan Konvensi Paris 13 Oktober 1919, wilayah Indonesia meliputi tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut sampai 12 mil diukur dari titik pantai dari pulau-pulau terluar. Jika berbatasan langsung dengan Negara tetangga yang jaraknya kurang dari 24 mil, maka diambil titik tengah sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.Wilayah ini kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hukum pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas wilayah Indonesia. Arti harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, yang dapat bergerak di atas air. Namun berdasarkan hukum internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang Iaut terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain).

Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya kapal udara, karena saat KUHP dibentuk belum dikenal adanya pesawat udara. Namun dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini kemudian diubah menjadi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif

Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada.[3]

Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. 

Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan.

Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasii bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan dia dari penuntutan pidana.

Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara tempat dilakukannya tindak pidana tidak diancam dengan pidana mati, maka ketika warga negara Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.

3. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif

Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan.[4]

Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlindungan adalah:

1. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106,107, 108,   110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).

2. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia :
  • Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia
  • Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)
  • Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri.

4. Asas Universal

Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan. Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:
  • Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929 - 1930.
  • Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.
Istisna' Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa berlakunya Pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional. KUHP tidak merinci hukum internasional mana yang membatasi pasal-pasal tersebut. Dengan demikian, aturan ini cukup luas karena dimungkinkan adanya perubahan- perubahan ketentuan berdasar pada hukum internasional. Pengecualian yang didasarkan pada hukum internasional ini adalah hak imunitas atau exterritorialitas.
Hak imunitas adalah hak yang dimiliki oleh seseorang terhadap tuntutan pidana dari negara tempat ia melakukan tindak pidana. Hak imunitas ini didasarkan pada
Perjanjian Wina 1961 yang dapat diberlakukan bagi:
  • Kepala negara asing dan keluarganya
  • Duta besar negara asing dan keluarganya
  • Anak buah kapal perang negara asing
  • Pasukan negara sahabat yang berada di wilayah negara atas persetujuan negara yang bersangkutan.

C. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu (Tempus Delicti)

1. Asas Legalitas

Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J.Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya. Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1 WvSNI 1918.

Baca Juga : Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Pasal 1 Ayat ( 1 ) KUHP

Pasal 1 Ayat (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut: 
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. 
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.

2. Konsekuensi Asas Legalitas Formil

Suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang - undangan. Konsekuensi:
  • Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
  • Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Peraturan perundang - undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensi aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar pikirannya:
  • Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
  • Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa si  calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.
Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini   dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.

3. Asas Legalitas Materil

Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP). Oleh karena itu dahulu Pasal 14 Ayat (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata "perundang - undangan” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).

Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada Pasal 5 Ayat (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951. Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,   maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.

Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling
mirip kepada perbuatan pidana itu.

Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.  
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib    menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.

4.  Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP

Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1 (3) Konsep KUHP menyebutkan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”20

5.  Asas Temporis Delicti

Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi perubahan perundangundangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa. Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP Korea dan Thailand. Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP menyatakan:
  • Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan perundangundangan yang paling menguntungkan.
  • Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.
  • Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

Sumber Hukum :
  1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
  2. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. 
  3. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.