Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alasan Penghapusan,Pengurangan, dan Penambahan Pidana

Alasan Penghapusan,Pengurangan, dan Penambahan Pidana

ALASAN PENGHAPUSAN, PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA

A. ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan peng-hapus pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana.Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pida-na diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaaf-kan pembuat.


Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana. Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya.Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/ menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan.Dalam hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut (hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya).Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 

a. Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond-faits justificatifs
b. Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond-faits d’exuce

Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaanya, salah satunya dalam buku Roeslan Saleh bahwa : 

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar.Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru.Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebab-kan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat mema-afkannya. 

Alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan pidana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan dapat digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tingkah laku (sebagai objeknya). Dalam hal inilah alasan penghapus pidana itu dapat dibedakan antara, tidak dapat dipidananya pelaku/pembuat dengan tidak dapat dipidananya perbuatan/tindakan. 

Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting, yaitu :
  1. Asas Subsidiaritas; Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum. 
  2. Asas Proporsionalitas; Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban hukum yang dilakukan. 
  3. Asas “culpa in causa”. Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana.
Pengerian Alasan Pembenar,Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi pidana.Jenis-jenis alasan pembenar Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah : 

1. Keadaan darurat (Pasal 48 KUHP) 
Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindari tidak boleh dihukum. 
Daya paksa (overmacht) dibedakan atas daya paksa absolut, daya paksa relatif dan keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa absolut dan relatif termasuk sebagai alasan pembenar dan daya paksa jenis keadaan darurat termasuk sebagai alasan pembenar.

Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat “apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar”.Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya perben-turan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika :

a. tidak ada jalan lain; 
b. kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan. 

Ilustrasi Contohnya : seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang. Putusan Mahkamah Agung No.117 K/Kr/1968 tanggal 27-7-1969 mengandung kaidah hukum bahwa dalam noodtoestand/keadaan darurat harus dilihat adanya unsur : 

(1) Pertentangan antara dua kepentingan hukum 
(2) Pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum 
(3) Pertentangan antara dua kewajiban hukum. 

2. Pembelaan Terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP) 
Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. 
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yaitu :

a. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda; 
Hukum Pidana
b. Serangan itu bersifat melawan hukum; 
c. Pembelaan merupakan keharusan; 
d. Cara pembelaan adalah patut. 

Untuk menilai unsur pembelaan terpaksa sebagai dasar peniadaan pidana maka harus diterapkan asas keseimbangan atau asas Proporsionalitas dan asas Subsidaritas. 

Asas Proporsionalitas, artinya bahwa pembelaan harus seim-bang dan sebanding dengan serangan. Contoh pembelaan yang berlebihan atau tidak memenuhi asas proporsionalitas misalnya A mendapati seorang pencopet sedang meraba-raba kantong celananya maka seketika itu juga A menebas tangan pencopet tersebut dengan parang hingga putus. 

Asas Subsidaritas (upaya terakhir) artinya kekerasan atau pembelaan yang dilakukan haruslah terpaksa dilakukan dan tidak ada jalan lain lagi yang mungkin ditempuh untuk menghindarkan diri dari serangan atau ancaman serangan atau dengan kata lain perbuatan harus terpaksa dilakukan untuk pembelaan yang sangat perlu (tidak ada jalan lain). Dikaitkan dengan contoh kasus tersebut diatas A seharusnya cukup hanya melakukan hal-hal atau tindakan antisipatif yang hanya bersifat melumpuhkan atau membuat pencopet tidak lagi bisa melanjutkan aksinya misalnya dengan menepis tangan pencopet tersebut. Jadi dengan demikian pembelaan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan asas subsidaritas dan asas proporsionalitas.

3. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang (Pasal 50 KUHP)
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan pera-turan undang-undang tidak boleh dihukum. 
Dalam hal ini, terdapat dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melak-sanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.

B. ALASAN PENGURANGAN PIDANA

Dasar-dasar pengurangan pidana secara umum ditentukan berdasarkan alasan sebagai berikut : 

a. Belum cukup umur (Pasal 47 KHUP) 
b. Percobaan (Pasal 53 KUHP ) 
c. Pembantuan (Pasal 56 dan pasal 57 KUHP) 

Alasan yang bersifat khusus terdapat dalam Pasal 308, 341, 342 KUHP. Belum Cukup Umur (Pasal 47 KUHP Jo UU No 11 Tahun 2012) Sejak berlakunya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka usia anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diajukan ke sidang anak adalah telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun. Dengan berlakunya undang-undang ini maka ketentuan Pasal 45 KUHP yang mengatur tentang usia anak belum dewasa yang umurnya belum 16 tahun sebagai pelaku tindak pidana tidak berlaku lagi. 

Selain itu dalam Pasal 47 KUHP alasan pengurangan pidana atas dasar pelaku belum cukup umur yakni maksimum hukuman utama dikurangi sepertiga sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 81 ayat (2) menjadi pengurangan seperdua dari ancaman pidana maksimum yang diancamkan bagi orang dewasa.Dan jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup maka terhadap anak diterapkan pidana maksimal 10 tahun penjara (Pasal 81 ayat 6). 

1. Percobaan Pasal 53 ayat (2) KUHP : 
Maksimum hukuman utama bagi kejahatan dikurangi dengan sepertiganya dalam hal percobaaan. 
KUHP tidak memberikan definisi apakah yang dimaksud dengan percobaan tetapi KUHP hanya memberikan batasan atau ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan dapat dihukum. Hukum Pidana.

Berdasarkan Pasal 53 KUHP percobaan pada kejahatan dapat dihukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 

1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan. 
2. Perbuatan berwujud permulaan pelaksanaan 
3. Delik tidak selesai di luar kehendak pelaku 

Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud membunuh dan telah melakukan suatu perbuatan permulaan pelaksanaan berupa mengangkat atau mengarahkan moncong senapan tetapi korbannya tidak sampai mati karena ada kekuatan atau daya baik pisik maupun psikis yang menghalangi sehingga tidak terjadi akibat yang dimaksud, kekuatan pisik misalnya pada waktu senapan diarahkan ke korban tiba-tiba ada saudara korban yang merampas senapan tersebut dan tidak jadilah aksi pembunuhan itu. Atau malah kekuatan itu dapat saja datangnya dari kekuatan alam, misalnya pada waktu mengarahkan senapannya, tanah yang dipijak oleh pelaku tiba-tiba longsong dan pelaku terjatuh. 

Kekuatan psikis dapat pula menghalangi pelaku dan mengurungkan niatnya untuk membunuh, misalnya pada waktu pelaku akan mengarahkan senapannya kepada seseorang tiba-tiba di belakang pelaku ada seekor macan sehingga ia ketakutan dan lari menyelamatkan diri hingga gagallah rencana pelaku untuk membunuh korbannya. Kesemuanya merupakan delik tidak selesai di luar kehendak pelaku walaupun telah dilakukan perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi walaupun demikian terhadap pelaku tetap dapat dipertanggungjawabkan sebagai percobaan pembunuhan dengan dakwaan melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 53 KUHP dengan ancaman hukuman menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP maksimum hukuman utama dikurangi seper-tiga. 

2. Pembantuan (Pasal 56, 57 KUHP) 

Pasal 57 KUHP : 
(1). Selama-lamanya hukuman pokok bagi kejahatan dikurangi dengan sepertiganya dalam hal membantu melakukan kejahatan. Andi Sofyan, Nur Azisa 152
(2). Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima bekas tahun. 
Menurut Pasal 56 KUHP pembantuan ada dua jenis yakni :
  1. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke-1 KUHP). 
  2. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan memberikan ke-sempatan, sarana atau keterangan (Pasal 56 ke-2 KUHP) 
Dilihat dari perbuatannya, pembantuan bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu), tetapi dilihat dari pertanggungjawabannya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana. Pada prinsipnya KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat di dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) bahwa maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga, dan apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara.

C . ALASAN PENAMBAHAN PIDANA

Dalam KUHP dikenal tiga macam alasan penambahan pidana secara umum yaitu: 

a. Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP) 
b. Recidive atau pengulangan (Pasal 486, 487, 488 KUHP) 
c. Gabungan (Pasal 63-71 KUHP) 

1. Kedudukan Sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP) 

Pasal 52 KUHP : 
Jikalau seorang pegawai negeri melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang dapat dihukum, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dihukum memakai kekuasaan, kesempatan atau daya Hukum Pidana.
Upaya yang diperoleh dari jabatan maka hukumannya dapat ditambah dengan sepertiganya. Syarat yang pertama ialah orang itu harus pegawai negeri. Mengenai pegawai negeri lihat Pasal 92 KUHP. Syarat yang kedua pegawai negeri itu harus melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya atau memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya (alat) yang diperoleh dari jabatannya. Yang dilanggar itu harus suatu kewajiban istimewa bukan kewajiban biasa. Contohnya seorang polisi ditugaskan menjaga suatu bank negara supaya pencuri tidak masuk, malah ia yang mencuri. Contoh lain Seorang bendahara-wan yang menggelapkan uang. Menurut Pasal 52 KUHP hukumannya dapat ditambah sepertiganya. 

2. Recidive (Pasal 486, 487, 488 KUHP)

Pemberatan pidana pada recidive dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP adalah penambahan sepertiga dari ancaman pidana pasal-pasal yang ditentukan dalam rumusan Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Recidive adalah pengulangan tindak pidana. Recidivist adalah orang yang telah melakukan suatu kejahatan dan terhadap perbuatan mana telah dijatuhi hukuman, akan tetapi setelah itu ia sebelum lima tahun berlalu melakukan jenis kejahatan itu lagi atau menurut undang-undang sama jenisnya. 
Syarat recidive adalah : 

1. Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya, Sama macamnya maksudnya kali ini mencuri, lain kali mencuri lagi. Oleh undang-undang dianggap sama macamnya yaitu semua pasal yang tersebut dalam Pasal 486 KUHP meskipun lain macamnya tetapi dianggap sama. 
2. Antara melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim. 
3. Harus hukuman penjara. 
4. Antaranya tidak lebih dari lima tahun terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebahagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

3. Concursus (Pasal 63-71 KUHP) 

Gabungan peristiwa pidana (samenloop) yaitu apabila satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. Concursus dibedakan atas 3 jenis yaitu : 

1. Concursus idealis (gabungan satu perbuatan) Pasal 63 KUHP 
2. Voogezette handeling (perbuatan berlanjut) Pasal 64 KUHP. 
3. Concursus realis (gabungan beberapa perbuatan) Pasal 65 KUHP 

Pemberatan pidananya memakai sistem absorpsi dipertajam, kumulasi, walaupun dalam hal-hal tertentu pada kenyataannya juga tersirat peringanan pidana yakni dengan sistem absorpsi dan kumulasi diperlunak. 



Daftar Pustaka : 

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. 1991.

Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1993.

Hamdan, Hukum Pidana Materil & Formil : Alasan Penghapus Pidana, USAID, The Asia Foundation, Kemitraan-Partnership, 2015.

J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana, PT. Citra aditya Bakti, Ban-dung, 2007.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,1983.
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, CV. ARMICO, Bandung. 1990.