Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana
hukum96.com

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istemewa, karena hakim selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Pengertian dari Kekuasaan kehakiman adalah badan yang menentukan dan kekuatan kaidah - kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Hakim merupakan sebuah  pelaksana dari kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.

Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan :

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:
  1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:
  1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undangundang menentukan lain.
  2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:
  1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Hakim didalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara, Ada beberapa teori yang sering di gunakan yaitu:

1. Teori keseimbangan

Teori pertama yaitu keseimbangan, Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan  intuisi

Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

3. Teori pendekatan keilmuan

Inti dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Penggunaan teori Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga pengalaman hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Ketika hakim menghadapi suatu perkara yang paling penting adalah pengalaman dari seorang hakim itu sendiri. Ini merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan  dalam menghadapi suatu perkara pidana yang berkaitan langsung dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Landasan yang mendasari teori dari Ratio Decidendi ini adalah landasan filsafat , yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sehingga ini merupakan dasar hukum hakim dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Pada kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : Bahwa benarkan putusan ini, jujurkah aku dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Sebagai manusia biasa hakim  tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Pada praktik di lapangan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah Faktor Subyektif, yaitu: Sikap Perilaku Apriori.

Jika kita sering mengamati suatu proses persidangan maka hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara dari awal, Hakim dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu sikap tersebut sangat bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Jika kita melihat faktanya bahwa  sikap keberpihakan ada pada  penuntut umum atau penggugat dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

1. Sikap Perilaku Emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

2. Sikap Arogan (arrogance power)

Jika Hakim telah mmiliki sifat atau sikap yang  arogan, bahwa merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.
  • Faktor moral ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. sehingga ini berfungsi sebagai membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
  • Faktor Obyektif, yaitu: Latar belakang sosial budaya

3. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi pengetahuan, wawasan dan skills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Pada hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum. Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum.