Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bentuk Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)

Bentuk Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)

A. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana

Perbarengan merupakan dimana keadaan seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana dalam hal yang dilakukan lebih awal dan pembuatnya belum dijatuhkan pidana, dan apabila sudah dijatuhkan pidana, maka pidana tersebut belum dijalaninya. Nah disinilah letak perbedaan perbarengan dan pengulangan. Pada dasarnya pengulangan tindak pidana (recidive) yang dilakukan lebih awal, pembuatnya telah dipidana dan telah menjalaninya. Jika kita lihat dari sudut  lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan satu orang, maka perbarengan sama dengan pengulangan. Perbedaanya yaitu perbarengan tindak pidana yang lebih awal pembuatnya sudah dipidana, bahkan sudah menjalani pidananya sebagian atau seluruhnya (Pasal 486, 487, dan 488 KUHP). Persoalan yang paling mendasar mengenai perbarengan adalah mengenai persoalan apakah kepada sipembuat akan dipidana sendiri - sendiri sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan ataukah dijatuhi satu pidana saja?? Apabila satu pidana saja, maka pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang mana yang hendak dijatuhkan?

Didalam Undang - Undang membedakan tiga bentuk dari perbarengan, yaitu :

1. Perbarengan peraturan (Concursus Idialis atau Eendaadse Samenloop).

Perbarengan peraturan terjadi dalam hal satu orang telah melakukan satu perbuatan (een feit) dimana satu perbuatan tersebut telah melanggar lebih dari satu aturan pidana. Definisi dasar ini sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh Pasal 63 Ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa :

"Jika suatu perbuatan (een feit) masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan - aturan tersebut dan jika berbeda - beda, maka yang dikenakan yang memuat ancamam pidana pokok yang paling berat".

Pasal 63 Ayat (2) Menyatakan :

"Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itu saja yang dijatuhkan".

Suatu perbuatan dalam rumusan Ayat (1), maknanya adalah satu perbuatan. Dari rumusan Pasal 63 Ayat (1) dan (2) KUHP, ada (2) pokok hal yang terdapat dalam rumusan tersebut. Yang pertama pengertian perbarengan peraturan dan yang kedua tentang sistem penjatuhan pidananya. Pandangan lama dari para tokoh seperti Van Hamel, Simons,Zevenbergen yang juga tercermin dari berbagai arrest Hoge Raad sebelum tahun 1932  yang cenderung pada pendapat yang sempit, bahwa pengertian perbuatan dalam Pasal 63 Ayat (1) sebagai perbuatan jasmani (matrieel feit).

Salah satu contoh yang diberikan oleh Van Hamel, adalah seseorang laki - laki memperkosa seorang perempuan yang dilakukannya dipinggir jalan raya, perbuatan laki - laki tersebut telah melanggar dua aturan pidana, yaitu Pasal 285 KUHP (memperkosa) dan Pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan dimuka umum). Contoh yang kedua, seseorang yang melakukan penipuan dengan menggunakan sarana surat palsu, perbuatan orang tersebut telah melanggar dua aturan pidana, yang pertama melanggar Pasal 378 KUHP dan 263 Ayat (2) KUHP.

Dari pembicaraan tentang perbuatan dalam Pasal 63 KUHP tentang Perbarengan Peraturan tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa :
  • Pengertian suatu perbuatan (een feit) dalam rumusan Pasal 63 Ayat (1) KUHP tentang perbarengan peraturannya pada mulanya, sebelum tahun 1932 diartikan sebagai perbuatan jasmani. Pandangan tersebut mengandung kelemahan, dianggap membatasi dan membelenggu berlakunya hukum secara tidak wajar. Pandangan sejal tahun 1932 pendapat perbuatan jasmani ditinggalkan.
  • Selanjutnya dicarilah ukuran - ukuran lain diluar ukuran perbuatan jasmani. Meskipun demikian, ukuran yang dipakai itu masih bersifat kasuistis. Pandangan - pandangan baru itu lebih dekat katerkaitannya dengan penyelesaian suatu kasus tertentu. Oleh karena itu belumlah dapat ditarik suatu ukuran yang bersifat umum yang berlaku untuk segala kejadian.
Jadi ada 3 Kemungkinan perbarengan peraturan yang dapat diterapkan sistem penjatuhan pidana hisapan yaitu :
  1. Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang sama berat. Dalam hal ini penjatuhan pidananya adalah terhadap salah satu diantara aturan - aturan itu. Mengenai kemungkinan yang pertama ini, disimpulkan dari kalimat "jika suatu perbuatan masul dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan - aturan itu". (Kalimat pertam Ayat 1). Meskipun dalam kalimat itu tidak secara tegas disebutkan ancaman pidana pokok yang sama beratnya, namun jika dihubungkan dengan kalimat berikutnya ialah "jika berbeda - beda, yang dikenakan ialah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat" (Ayat 1), maka tiada lain artinya mengenai pidana dalam kalimat yang pertama, adalah dalam hal pidana pokok yang sama berat.
  2. Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak sama berat. Dalam hal ini pidana yang dijatuhkan adalah pidana memuat ancaman pidana pokoknya yang paling berat. Contohnya membunuh dengan memasang bom mobil. Disini satu perbuatan memasang bom mobil melanggar Pasal 340 KUHP yakni  pembunuhan berencana dan jika bom meledak maka melanggar Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang. Maka dalam perbarengan peraturan ini hanya dijatuhkan satu pidana saja yang terberat yakni terhadap pelanggaran Pasal 340 KUHP tanpa ada pemberatan. Sementara terhadap Pasal 406 telah dianggap terhisap oleh pelanggaran Pasal 340 KUHP.
  3. Perbarengan pertauran dimana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus. Maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana yang diancamkan pada aturan pidana yang khusus (Ayat 2). Ketentuan sistem pemidanaan ini merupakan perwujudan dari asas "Lex Specialis Derogat Legi Generalis" (berasal dari hukum romawi) yang dianut dalam hukum pidana kita.

2. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling).

Dalam hal perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :
  • Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing - masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  • Demikian juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika oranf yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak.
  • Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan - kejahatan tersebut dalam Pasal - Pasal 364, 373, 379, dan 407 Ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, 378 dan 406.
Arti perbuatan berlanjut dirumuskan dalam Ayat (1) adalah beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran umum kejahatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang  sebagai satu perbuatan yang berlanjut. Unsur - Unsurnya adalah yang pertama beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran atau kejahatan, yang kedua, antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut.

Arti perbuatan disni adalah perbuatan yang melahirkan tindak pidana, atau perbuatan beserta kompleksitas unsur - unsur lainnya dalam tindak pidana. Bukan semata - mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan sebagai bagian dari salah satu unsur tindak pidana. Syarat pertama yang disimpulkan dari perkataan Voortgezette (dilanjutkan), syarat kedua disimpulkan secara a contrario dari bunyi rumusan Ayat (2) Pasal 64, dan syarat yang ketiga agak kabur.

3. Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Meerdaadse Samenloop).

Dari bunyi rumusan Pasal 65 Ayat (1) dan 66 Ayat (1) KUHP, perbarengan perbuatan adalah beberapa perbuatan yang masing - masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan. Definisi perbuatan dalam rumusan tersebut adalah perbuatan yang telah memenuhi seluruh syarat dari  suatu tindak pidana tertentu, atau secara singkat adalah tindak pidana. Sistem penjatuhan pidana perbarengan perbuatan dibedakan menurut macamnya perbarengan perbuatan. Berdasarkan Pasal 65, 66 dan 70 KUHP ada 4 (empat) macam yaitu :
  1. Perbarengan perbuatan antara beberapa kejahatan yang masing - masing diancam dengan pidana pokom yang sama jenisnya (Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja (Ayat 1) dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan kepada tindak pidan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga (⅓) (Ayat 2). Misalnya seperti pemerasan  (368, maksimum 9 tahun penjara) dengan pembunuhan (338, Maksimum 15 tahun penjara). Apabila dua kejahatan tersebut dilakukan oleh satu orang, maka hanya dijatuhi satu pidana saja, tetapi dapat diperberat dengan ditambah sepertiganya dari maksimum 15 tahun (yang terberat), sehingga maksimumnya menjadi 20 Tahun.
  2. Perbarengan perbuatan antara dari beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana yang tidak sama jenisnya (Pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie stelsel) terhadap masing - masing kejahatan itu dijatuhi pidana sendiri - sendiri pada pembuatnya. Tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga (Ayat 1).
  3. Perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel) (Pasal 70 KUHP).
  4. Perbarengan perbuatan antara pelanggaran dengan pelanggaran, juga menggunakan sistem kumulasi murni. Masing - masing kejahatan maupun pelanggaran pidana diterapkan sendiri - sendiri pada si pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran yang diperbuat tanpa adanya pengurangan atau pun penambahan batas tertentu (Pasal 70 KUHP).
Bagaimana penjatuhan pidana dalam perbarengan perbuatan terdiri dari kejahatan yang salah satunya diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, mengingat karena sifatnya pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat diperberat? Dalam hal ini apabila hakim menetapkan pidana mati atau penjara seumur hidup, karena sifatnya tidak dapat diperberat lagi, dan menurut Pasal 67 yang menyatakan bahwa " tidak boleh dijatuhi pidana yang lain lagi kecuali pencabutan hak - hak tertentu, perampasan barang yang telah disita sebelumnya dan pengumuman putusan hakim".

Lalu Bagaimana dengan pidana tambahan dalam hal perbarengan peratura?? Untuk menjawab persoalan ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 68, yang bunyi rumusannya sebagai berikut :

1.) Berdasarkan hal - hal dalam Pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai berikut :
  1. Pidana - pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun melebihi pidana pokok atau pidana - pidana pokok yang dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Pidana - pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri - sendiri tanpa dikurangi.
  3. Pidana - pidana perampasan barang - barang  tertentu , begitu pula halnya dengan pidana kurungan pengganti karena barang - barang tidak diserahkan, dijatuhi sendiri - sendiri tanpa dikurangi.
2.) Pidana kurungan - kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi 8 (delapan) tahun.


Demikian artikel dari kami, semoga bermanfaat untuk kita semua, apabila ada pertanyaan seputar materi artikel silahkan coret - coret dikolom komentar,Jangan lupa Share, Terim kasih.



Sumber Hukum :
  1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana.