Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Begini Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah

Begini Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah

Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah

Dalam hal ketentuan syariah, asuransi syariah dibatasi dalam kegiatannya oleh larangan-larangan syariah, di antaranya larangan mempraktikkan riba dalam bentuk apapun, menghindarkan praktik perjudian, ketidakpastian, dan ketidakjelasan (maysir, gharar, jahâlah), dan berinvestasi dalam bidang yang halal. Selain itu, dalam konteks Indonesia, asuransi syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah yang bertugas mengawasi kesesuaian praktik perusahaan asuransi dengan ketentuan syariah.

Asuransi syariah mempunyai landasan filosofi yang berbeda dengan asuransi konvensional, yaitu mencari ridha Allah untuk dunia akhirat. Dua konsepsi dasar asuransi syariah adalah pertama acuannya alqur’an dan Sunnah. Konsep yang kedua adalah adanya tabungan tabaruu’ (derma). Pengelolaan dana asuransi syariah pada takaful keluarga terdapat dua macam sistem yang dipakai, yaitu sistem pengelolaan dana dengan unsur tabungan dan sistem pengelolaan dana tanpa unsur tabungan. Untuk aktivitas asuransi syariah takaful keluarga yang tanpa unsur tabungan, mekanisme operasional pengelolaan dananya sama saja dengan operasional takaful umum. Mekanisme operasional Dana Asuransi syariah sebagai berikut :

a. Menghindari unsur riba

Islam menganggap riba (bunga) sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan moral. Islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Riba diharamkan karena mendatangkan kedzaliman dan ketidakadilan yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Untuk menghilangkan unsur riba, asuransi syariah memutar premi asuransi para nasabahnya dengan cara-cara yang dibenarkan (halal) oleh syariat Islam, yaitu tanpa riba. Dalam hal ini investasi asuransi syariah (takaful) ditujukan kepada bank-bank syariah dan BPRS yang bisa dijadikan mitra usaha. Dalam menentukan instrumen investasi dana/ premi peserta selalu dalam pengawasan dewan syariah, dimana hal ini hanya terdapat pada asuransi syariah (takaful) saja dan tidak dimiliki asuransi konvensional.

Keberadaan asuransi syariah yang paling substansial disebabkan adanya ketidakadilan dalam asuransi konvensional, misalnya upaya melipatgandakan keuntungan yang dilakukan dengan cara yang tidak adil. Semua asuransi konvensional menginvestasikandananyadenganbunga.Asuransikonvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Sedangkan takaful menyimpan dananya di bank berdasarkan syariah dengan sistem mudharabah.

b. Menghindari unsur judi (maysir)

Asuransi syariah tidak mengandung unsur pertaruhan dan untung-untungan yang dilarang oleh Islam. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasip dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. (al Maidah :90)"
Pada asuransi takaful keluarga, dalam menghilangkan unsur judi yang terdapat pada asuransi konvensional adalah bermula dari awal perjanjian (reversing period), dimana setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan semua uang yang telah dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja (kurang dari 5 %) masuk dalam derma. Pembayaran klaim kepada peserta berasal dari rekening peserta sesuai perjanjian. Sedangkan rekening tabarru’ tidak dapat dikembalikan, karena merupakan shadaqah. Jika ada tambahan dalam pembayaran klaim, semata-mata berasal dari bagian keuntungan hasil investasi premi asuransi yang dibagikan secara bagi hasil (mudharabah).

c. Menghindari unsur penipuan (garar)

Dalam nilai-nilai dasar ekonomi, dapat diambil kesimpulan bahwa garar adalah ketidakpastian terhadap suatu hal. Dalam asuransi takaful keluarga, untuk menghilangkan unsur ketidakpastian (garar) perjanjian ditentukan, yaitu akad tolong menolong (at-takaful) dalam perlindungan dan bukan perjanjian pertukaran. Hal ini dapat dilihat langsung pada asuransi takaful keluarga dengan adanya rekening peserta dan rekening tabaruu’, yaitu rekening dari hasil penyisihan sebagian premi peserta, sebagai perwujudan dari tolong menolong sesama peserta yang terkena musibah. Hal ini menunjukkan bahwa asuransi syariah (takaful) bukan perjanjian pertukaran, akan tetapi lebih memperlihatkan perjanjian tolong menolong dalam perlindungan. Sehingga Alquran secara tegas melarang seluruh transaksi bisnis yang mengandung unsur penipuan dan kecurangan untuk memperoleh keuntungan dengan tidak wajar. 

Dalam asuransi konvensional ada dana hangus, dimana peserta yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Demikian pula, asuransi non tabungan atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim maka premi yang dibayarkan akan hangus sekaligus menjadi milik asuransi.

Karena itu ada beberapa ulama yang mengharamkan asuransi seperti Al Qardhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al Qalaili dan Muhammad bakhit al Muthi, dengan alasan asuransi adalah:
  1. Mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam
  2. Asuransi mengandung unsur ketidakpastian
  3. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang di dalam Islam
  4. Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan
  5. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar uang secara tidak murni
  6. Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup atau matinya seseorang yang mendahulukan takdir Tuhan.
Ulama yang membolehkan asuransi antara lain adalah Abdul Wahab Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdur Rahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa dan Muhammad Nejatullah dengan alasan :
  1. Tidak ada ketentuan atau nash (Al-quran dan Sunnah) yang melarang asuransi
  2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
  3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
  4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum
  5. Asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil)
  6. Asuransi termasuk koperasi (Syirkah ta’awuniyah)
Dari uraian dan alasan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah adalah sah karena terbebas dari unsur riba, maysir dan gharar. Tentunya kalau kita analisis ke asuransi konvensional jelas ini mengandung unsur riba dan ketidakjelasan, sedangkan asuransi berbasis investasi pada syariah dilakukan dengan operasional pola bagi hasil jelas dana mana yang harus diberikan kepada tertanggung yang mengalami peristiwa tidak tentu dengan berlandasan kesukarelaan para pemegang polis di perusahaan asuransi tersebut.

Mekanisme akad mudharabah dalam perusahaan asuransi syariah terkait dengan pengelolaan dana menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Pengelolaan dana dengan unsur tabungan (dana investasi)

Setiap peserta wajib membayar premi secara tertentu kepada perusahaan-perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang bisa dibayarkan, pada prinsipnya pembayaran premi tergantung kemampuan peserta. Setiap peserta dapat membayar premi dalam bentuk rekening koran, giro, atau membayar secara langsung dan dapat memilih pembayarannya baik bulanan, kuartal, semesteran, maupun tahunan sesuai kemampuan. Melalui sistem ini, setiap premi takaful yang telah diserahkan pada perusahaan asuransi akan dimasukkan ke dalam dua rekening terpisah yaitu: rekening khusus tabarru’ (Pasticipant Special Account), yaitu rekening yang diniatkan untuk kebaikan apabila ada diantara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah, dan rekening tabungan (Participant Account) yang dimiliki oleh peserta takaful. Rekening ini selain dapat diinvestasikan (tijarah) juga dapat didermakan untuk kebaikan (tabarru’). Melalui akad tijarah (mudharabah), kumpulan dana yang dibayarkan oleh peserta kepada perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada pembiayaan-pembiayaan yang dibenarkan secara syariah. Pada asuransi Jiwa (life insurance) paling tidak ada tiga kemungkinan manfaat yang diterima oleh peserta :

a. Apabila peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), maka ahli waris akan menerima :
  • Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
  • Sisa saldo angsuran premi yang harusnya dilunasi dihitung dari tanggal meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya, dan untuk tujuan ini diambilkan rekening tabarru’ para peserta yang memang disediakan untuk itu.
b. Apabila peserta masih hidup sampai selesainya masa pertanggungan maka yang bersangkutan akan menerima seluruh premi yang telah disetorkan ke rekening peserta, ditambah dengan bagi hasil apabila selama menjadi peserta investasinya mendatangkan keuntungan.

Kehalalan asuransi didasarkan pada pertimbangan praktiknya menjauhkan dari sistem riba, gharar, jahâlah, dan qimâr. Asuransi syariah menggunakan sistem persekutuan dan pertolongan (syirkah wa ta’âwuniyyah). Praktik ini dibenar-kan menurut agama, bahkan didorong untuk saling menolong dalam takwa dan kebaikan. Asuransi syariah ini sangat jelas mekanisme keuangannya. Dimana premi yang digunakan untuk investasi akan bisa di ambil oleh peserta asuransi jika peserta mengundurkan diri. Kejelasan mekanisme keuangan asuransi syariah ini karena pada hakekatnya asuransi ini berlandaskan pada hukum Islam yang merupakan Ketentuan dari Penguasa Alam Sang pencipta Allah SWT. Hal ini sangat berbeda dengan produk hukum.



SUMBER :
  1. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ush Fiqh, Dar Al Kuwaitiyah, Kairo, 1968, hlm 79
  2. Ahmad Sâlim Milhim, al-Ta’mîn al-Islâmî, Oman: Dâr al-A’lâm, 2002, Cet. I, h. 115–117; juga Syakir Sula, Asur- ansi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani, Jakarta, 2004, Cet. I, h. 293–319.
  3. Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 1, Cet1, Ekosinia, Yogyakarta, 2003, hlm 118214 Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan syariah, Cet 1, Zikrul hakim, Jakarta 2008, hlm 107-113
  4. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 1, Cet 1, Ekosinia, Yogyakar- ta, 2003, hlm 118
  5. Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Edisi 1, Graha Ilmu, 2010, hlm 121.