Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penjelasan Upaya Hukum Verzet,Banding,Kasasi dan Peninjauan Kembali

Penjelasan Upaya Hukum Verzet,Banding,Kasasi dan Peninjauan Kembali

A. Pengertian

upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu guna melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini dikarenakan hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan / kekhilafan, sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan yaitu untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka putusan hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum merupakan upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. 

B. Verzet

Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap Putusan verstek. Dasar hukum verstek: Pasal 149 ayat (1) RBg, Pasal 125 ayat (1) HIR. Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Upaya hukum ini disediakan bagi tergugat yang pada umumnya dikalahkan dalam putusan verstek. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 ayat (2), Pasal 126 HIR dan Pasal 149 ayat (3), Pasal 153 ayat (2), Pasal 150 RBg. 


Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam Pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir. 

Syarat verzet diatur dalam (Pasal 129 ayat (1) HIR): 
  1. Keluarnya putusan verstek. 
  2. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari, dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari, dan 
  3. Verzet dimasukkan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana penggugat mengajukan gugatannya. 
Dalam hukum acara dikenal istilah denderverzet adalah perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan oleh karena ia merasa dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Misalnya, barang yang disita dalam suatu perkara bukanlah milik tergugat, melainkan milik pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur dalam Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg. Sementara perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) tidak diatur dalam HIR ataupun RBg. Perlawanan jenis ini dapat terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga. Maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 378-384 Rv dan Pasal 195 (6) HIR. 

Denderverzet dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang beperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mengikat pihak ketiga. Tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga.Oleh sebab itu, dikatakan luar biasa. 

C. Banding

Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang kalah di Pengadilan Tingkat Pertama ke Pengadilan Tinggi melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut, yaitu sebagai upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara kontradiktur. 

Banding adalah upaya hukum biasa melawan putusan Pengadilan Negeri oleh pihak-pihak berperkara perdata yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Negeri. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 188 s/d 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura), dan dalam Pasal 199 s/d 205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan madura). Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, maka Pasal 188 s/d 194 HIR yang mengatur acara pemeriksaan banding untuk daerah Jawa dan Madura tidak berlaku lagi. Pengertian lain “Banding” ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (tingkat ban: ding), karena merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama. Misalnya, pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Agama (PA), sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA) (Pasal 6 UU No.7/1989). 

Permohonan banding harus diajukan kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan putusan (Pasal 7 UU No. 20/1947). Urutan banding menurut Pasal 21 UU No. 4/2004 jo. Pasal 9 UU No. 20/1947 mencabut ketentuan Pasal 188-194 HIR, yaitu: 
  1. ada pernyataan ingin banding: 
  2. panitera membuat akta banding:
  3. dicatat dalam register induk perkara: 
  4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat: ), 
  5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding. 
Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding adalah sebagai berikut:
  1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara. 
  2. Diajukan dalam masa tenggang waktu banding. 
  3. Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding.
  4. Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo. 
  5. Menghadap di kepaniteraan pengadilan yang putusannya dimohonkan banding. 
Pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak mengajukan banding (Pasal 6 UU No. 20/1947), kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu penajuan banding ditetapkan sebagai berikut: bagi pihak yangbertempat tinggal di daerah hukum pengadilan agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Adapun bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum pengadilan yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya ialah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan (Pasal 7 UU No. 20/1947). 

Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. Apabi: la berkas perkara belum dikirimkan kepada pengadilan tingkat pertama. Pencabutan disampaikan kepada pengadilan agama yang bersangkutan, kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding. Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding berakhir. Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada PTA/PTU/PTN.

Namun apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada PTA/PTU/PTN, maka: 
  1. Pencabutan banding disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke PTA/PTU/PTN. 
  2. Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA, maka pencabutan Itu segera dikirimkan ke PTA/PTU/PTN. 
  3. Apabila permohonan banding belum diputus, maka PTA/PTU/ PTN akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding. 
  4. Apabila perkara telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin di kabulkan. 
  5. Apabila pemohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut. 
Pencabutan banding tidak memerlukan persetujuan dengan pihak lawan. Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara. Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut. 

D. Kasasi 

Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Pengertian pengadilan kasasi adalah pengadilan yang memeriksa apakah judex factie tidak salah dalam melaksanakan peradilan. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kasasi adalah sebagai berikut: Pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu, menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang. Menurut penjelasan di atas, hak kasasi hanyalah hak MA, sedangkan menurut kamus istilah hukum, kasasi memiliki arti sebagai berikut: pernyataan tidak berlakunya keputusan hakim yang lebih tendah oleh MA, demi kepentingan kesatuan peradilan. 

Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding di semua lingkungan Peradilan. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan satu kali. Dan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara, artinya ialah tidak menunda pelaksanaan putusan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kasasi adalah upaya hukum biasa melawan putusan Pengadilan Tinggi bagi pihak-pihak berperkara yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara pada tingkat banding. Upaya hukum ini diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung di antaranya Pasal 40 ayat (1) dan (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 47 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan (2), Pasal 51 ayat (1) dan (2), dan Pasal 52. Adapun menurut Pasal 29 dan 30 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan peng' adilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. 

Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang digunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2004 adalah: 
  1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk — melampaui batas wewenang: 
  2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku, 
  3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan. 
Suatu keputusan pengadilan putusan tingkat pertama yang menurut hukum tidak dapat dimintakan banding, maka dapat dimintakan kasasi ke MA dengan alasan-alasan tersebut di atas. Suatu putusan pengadilan yang telah dimintakan banding kepada pengadilan tingkat banding, maka yang dimintakan kasasi adalah keputusan tingkat banding tersebut, karena adanya banding tersebut berarti putusan PA telah masuk atau diambil alih oleh Pengadilan Tinggi. 

1. Syarat-syarat Kasasi 

Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu: 
  1. Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi. 
  2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi. 
  3. Putusan atau penetapan PA dan PTA/PTU/PTN, menurut hukum dapat dimintakan kasasi. 
  4. Membuat memori kasasi 
  5. Membayar panjar biaya kasasi 
  6. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan. 
Untuk permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu, 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (Pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985). Apabila 14 (empat belas) telah lewat tidak ada permhonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan, maka dianggap telah menerima putusan (Pasal 46 ayat (2) UU No. 14/1985). Pemohon kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UU No. 14/1985). 

Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh MA, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka: 
  1. Pencabutan disampaikan kepada pengadilan yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan. 
  2. Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.
  3. Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang waktu kasasi belum habis. 
  4. Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke MA. 
Dan, apabila berkas perkara sudah dikirimkan kepada MA, maka: 
  1. Pencabutan disampaikan melalui pengadilan yang bersangkutan atau langsung ke MA. 
  2. Apabila pencabutan disampaikan melalui pengadilan, maka pencabutan segera dikirimkan kepada MA. 
  3. Apabila permohonan kasasi belum diputuskan, maka MA akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.
  4. Apabila permohonan kasasi telah diputuskan, maka pencabutan kembali tidak mungkin dikabulkan. 
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding. Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung. Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersebut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001.

E. Peninjauan Kembali 

Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening” Mr. M.H. Tirtaamijaya menjelaskan herziening sebagai berikut: itu ada, lah sebagai jalan untuk memperbaiki suatu putusan yang telah menjadj tetap-jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki sua, tu kealpaan hakim yang merugikan si terhukum, kalau perbaikan itu hendak dilakukan, maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui oleh hakim itu, jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan putusan lain. 

Yang lain menyatakan bahwa peninjauan kembali atau biasa disebut Reguest Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dahulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain. 

Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh MA. Peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No. 14/1970). 

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah ber: kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pi hak yang berkepentingan (Pasal 66-77 UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2004). 

Mengajukan upaya hukum luar biasa, dalam hal ini adalah Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap. 

Dasar Hukum PK: Pasal 23 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No. 14 Tahun 1985. 

Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara memerlukan syarat-syarat sebagai berikut: 
  1. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. 
  2. Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Bukti bukti baru tersebut dinamakan novum
  3. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya. 
  4. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atau dasarnya sama, diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi bertentangan dalam putusannya satu sama lain. 
  5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 67 UU No. 14/ 1985). 
  6. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut.
Di samping itu ada beberapa mekanisme yang harus dilalui, yaitu:
  1. Diajukan oleh pihak yang berperkara. 
  2. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 
  3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasanalasannya. 
  4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang. 
  5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali. 
  6. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama. 
  7. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu. 

Jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali Adalah 180 Hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap ( Pasal 69 UU No. 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.


Demikian Artikel dari kami Jangan lupa Share,Terima Kasih..


Dasar Hukum :
  1. HIR : Herzien Inlandsch Reglement
  2. RBG : Rechtreglement voor de Buitengewesten
  3. Rv : Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering
  4. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama.
  5. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan mahkamah agung dan kejaksaan agung
  6. Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung di antaranya Pasal 40 ayat (1) dan (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 47 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan (2), Pasal 51 ayat (1) dan (2), dan Pasal 52.