Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jenis Eksekusi & Tata Cara Sita Eksekusi Hukum Acara Perdata

Jenis Eksekusi & Tata Cara Sita Eksekusi Hukum Acara Perdata

A. Jenis-jenis Eksekusi dan Proses Eksekusi

Pada dasarnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan. Karena perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR putusan dilaksanakan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang dikalahkan itu tidak mau melaksanakan putusan itu dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya di mulai. Jadi jelaslah pelaksanaan putusan pengadilan dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan sukarela dan dengan cara paksaan.

Ada tiga jenis eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata: 

1. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 H.I.R dan seterusnya, di mana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang. 

Pelaksanaannya melalui penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut, ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi terse. but. Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) H.I.R/Pasal 208 RBg, maka barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu sebelum penjualan le. lang dilakukan, kemudian proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak dan jika barang-barang bergerak tidak ada atau tidak men. cukupi barulah dilakukan terhadap barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap). 

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan di mana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. 

Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial. 

2. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan. 

Apabila seseorang dihukum melakukan suatu perbuatan tersebut dalam waktu yang ditentukan, maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar petbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan kata lain, perkataan pelaksanaan perbuatan itu dilakukan oleh sejumlah uang. Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Apabila seseorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya, maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 

Dengan demikian, maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak di dalam sidang terbuka. 

Menurut Pasal 225 HIR yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti daripada pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar putusan hakim yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan, putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perlu dicatat, bahwa bukan putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun dapat diperlakukan demikian. Yang lebih menarik perhatian adalah bahwa perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak dalam sidang terbuka. 

3. Eksekusi riil, yang diatur dalam praktik banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.

Tata cara eksekusi riil yang dikaitkan dengan (Pasal 218 ayat (2) R. Bg) dengan tata cara eksekusi riil yang diatur Pasal 1033 RV dijadikan landasan menjalankan eksekusi riil dalam praktik peradilan. “Tata cara yang diatur dalam pasal-pasal dimaksud sudah dianggap sebagai aturan
formal menjalankan eksekusi riil tentang pengosongan, pembongkaran, maupu melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 

Dalam menjalankan eksekusi riil terhadap perkara-perkara yang menjadi kompetensi pengadilan dapat melalui prosedur - prosedur sebagai berikut: 

1. Permohonan eksekusi dari pihak yang menang.

2. Penaksiran biaya eksekusi. Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan eksekusi riil pihak yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir biaya eksekusi yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi. Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi, biaya pengamanan, dan lain-lain yang dianggap perlu.

3. Melaksanakan peringatan dilakukan dengan melakukan pemanggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal, dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut. Jika termohon eksekusi hadir, maka ketua pengadilan memberikan peringatan/teguran supaya ia menjalankan putusan hakim dalam waktu delapan hari.

Apabila pihak yang kalah (termohon eksekusi) tidak hadir, dengan ketidakhadirannya beralasan, maka pihak yang kalah itu harus dipanggil sekali lagi untuk yang kedua kalinya. Jika setelah dipanggil ini, ia kembali tidak hadir dan ketidakhadirannya tidak beralasan, sementara panggilan dilakukan secara resmi dan patut, maka gugur haknya untuk dipanggil lagi.

4. Setelah itu secara ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada panitera/jurusita.

5. Apabila waktu telah lewat, pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan, maka ketua pengadilan membuat penetapan dengan memerintahkan panitera/jurusita dengan dibantu dua orang saksi untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan amar putusan dan pelaksanaan eksekusi dituangkan dalam berita acara eksekusi (Pasal 209 ayat (4) RBg). 

Jika putusan pengadilan yang memerintahkan pengosongan barang  tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara, barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya. 

Perihal ini tidak diatur dalam HIR Pasal 200 ayat (11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi riil. 

“Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.” 

Pasal ini memberi petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan rumah itu, misalnya anggota ABRI. 

Meskipun eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam praktik sangat diperlukan.

Dengan demikian, dapat dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan Pasal 1033 Rv bahwa yang harus meninggalkan barang tidak - bergerak yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena dalam sebuah rumah disita dan atasnya telah diletakkan perjanjian sewamenyewa sebelum rumah itu disita, maka pihak penyewa dilindungi oleh asas koop breekst geen huur yakni asas jual beli tidak menghapuskan hubungan sewa-menyewa sebagaimana ditentukan Pasal 1576 KUH Perdata. 

Dalam praktik ketiga macam eksekusi ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi dengan pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi kepada petugas urusan kepaniteraan perdata pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-A.8), lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi. Setelah Ketua Pengadilan Negeri mempelajari permohonan itu dan yakin tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan “penetapan” berisi perintah agar Jurusita Pengadilan memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran (aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan melaksanakan putusan hakim. Apabila pada waktu “aanmaning” itu para pihak hadir maka kepada pihak lawan yang dikalahkan diberi waktu 8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut terlampaui dan pihak termohon eksekusi belum memenuhi amar putusan hakim, maka dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai dua orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan semua ini dibuat pula berita acaranya. 

B. Tata Cara Sita Eksekusi

Beberapa syarat formal yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan penyitaan, yaitu:

1. Sita eksekusi dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri. Surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita eksekusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya Surat Penetapan tersebut adalah:
  • Termohon tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah.
  • Termohon tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2. Surat perintah/penetapan sita eksekusi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi adalah: Penunjukan nama pejabat yang diperintahkan, rincian jumlah barang yang hendak disita eksekusi. Undang-undang memisahkan fungsi Ketua Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua Pengadilan Negeri berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi (Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita sebagai pejabat yang menjalankan eksekusi secara mutlak. Pejabat yang terlibat dalam eksekusi merupakan satu kesatuan yang utuh, baik dalam pelaksanaan maupun pertanggung jawabannya.

3. Pelaksanaan penyitaan dibantu oleh dua orang saksi merupakan syarat formal, baik pada sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai Pasal 197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. Kedua orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. Agar syarat formal terpenuhi, maka kedua orang pembantu yang menyaksikan jalannya pelaksanaan sita eksekusi harus mencantumkan nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua saksi dalam berita acara sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut menandatangani asli dan salinan berita acara sita eksekusi, sebagai syarat sah berita acara sita eksekusi. Syarat penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7) HIR adalah: telah berusia 21 tahun, berstatus penduduk Indonesia, dan memiliki sifat jujur atau dapat dipercaya, umumnya diambil dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

4. Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat. Berdasarkan Pasal 197 ayat (5), (9) HIR tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak disita. Hal ini disyaratkan agar panitera atau juru sita dapat melihat sendiri jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus dapat memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.

5. Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi. Merupakan satu-satunya bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap awal menuju penyelesaian eksekusi merupakan tindakan yustisial yang harus bisa dipertanggungjawabkan Ketua Pengadilan Negeri dan juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi. Hal penting yang harus tercantum dalam Berita Acara Sita Eksekusi, yaitu: '
  • Memuat nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.
  • Memerinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
  • Ditandatangani pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
  • Tidak diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangai berita acara.
  • Pemberitahuan isi berita acara kepada pihak tersita, maksudnya untuk perlindungan hukum.
6. Penjagaan Yuridis Barang yang Disita. Berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita, sebab bila pen. jagaan dan penguasaan barang yang disita diberikan kepada pemo: hon sita. Seolah-olah sita itu sekaligus langsung menjadi eksekusi. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilaksanakan penjualan lelang. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain dengan alasan demi keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut secara tegas dalam berita acara sita, sebagai syarat formal hak penjagaan. Sepanjang barang yang habis dalam pemakaian, tidak boleh digunakan dan dinikmati tersita.

7. Ketidakhadiran Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.

Syarat-syarat yang paling pokok mendukung keabsahan tata cara sita eksekusi, antara lain: Barang yang disita benar-benar milik pihak tersita (termohon): dan mendahulukan penyitaan barang yang bergerak. Kemudian apabila tidak mencukupi baru dilanjutkan terhadap barang yang tidak bergerak, sampai mencapai batas jumlah yang dihukum kepada penggugat. 

C. Prosedur Permohonan Eksekusi Grosse Akta Hak Tanggungan.

Sebelum mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus disiapkan surat permohonan eksekusi. Surat permohonan eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pilihan hukum yang tertera dalam akta Hak Tanggungan dengan dilampiri dokumen-dokumen hukum yang diperlukan. Dokumen-dokumen hukum yang diperlukan yaitu: 
1. Asli Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang mengajukan permohonan adalah kuasa dari kreditur. 
2. Copy Perjanjian Kredit dan/atau Akta Pengakuan Utang beserta perpanjangannya dan/atau perubahan perjanjian kredit tersebut yang telah di-nazegling (Pemateraian di kantor pos). 
3. Copy Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen kelengkapannya (Misalnya Izin Mendirikan Bangunan, jika ada) yang telah di nazegel Kantor Pos. 
4. Copy sertifikat hak tanggungan (berikut dengan akta pemberian hak tanggungan) yang telah di nazegling. 
5. Copy surat kuasa untuk membebankan hak tanggungan (SKMHT) yang telah di Nazegling (jika ada). 
6. Copy surat peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegeling.
7. Copy catatan/pembukuan bank yang membuktikan besarnya jumlah utang debitur (outstanding) yang telah di nazegling.



Dasar Hukum :
  1. Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
  2. Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)
  3. Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv)
  4. Pasal 1576 KUH Perdata