Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana

Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana

A. Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana 

Perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri umumnya dapat dibedakan atas perkara pidana dan perkara perdata. Keduanya memiliki sejumlah perbedaan yang didasarkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana sendiri dengan Hukum Perdata. Berikut ini beberapa perbedaan antara Hukun Acara Perdata di satu pihak dengan aturan Hukum Acara Pidana di pihak lain. 

a. Perbedaan dari Segi Kepentingan yang Dilindungi 

Baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata, jelas adanya pemeriksaan tersebut karena ada kepentingan. Apakah itu kepentingan umum, kepentingan hukum, ataupun kepentingan perseorangan. Hal ini sesuai pemeo yang bunyinya: “Point d'interet point daction” (nanti ada kepentingan yang layak, barulah seseorang boleh mengajukan tuntutan hak). Dari sudut kepentingan yang dilindungi, Hukum Acara Pidana menghadapi dua kepentingan, yaitu kepentingan umum dan kepentingan hukum. Adapun, di dalam Hukum Acara Perdata, kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan perseorangan. Tampak bahwa di dalam, Hukum Acara Perdata, dua pihak yang beperkara sama bobot kepentingannya sehingga harus diperlakukan sama. Kedua-duanya harus diberi kesempatan sama untuk menang sehingga mempunyai kepentingan hukum yang sama. Berbeda halnya dalam Hukum Acara Pidana, kepentingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, sedangkan kepentingan yang diwakili oleh terdakwa adalah kepentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindungan hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah dihukum, sedangkan kepentingan hukum menghendaki agar yang tidak bersalah tidak dihukum. Karena itulah, dalam Hukum Acara Pidana berlaku pemeo: “Lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak bersalah.” 

b. Perbedaan dari Segi Inifiatif Penuntutannya ke Pengadilan 

Dalam perkara pidana, inisiatif untuk mengajukan ke pengadilan terletak pada jaksa selaku penuntut umum. Dalam hal ini, jaksa tidak mewakili diri pribadi ataupun instansinya, melainkan mewakili kepentingan publik. Sebaliknya, inisiatif untuk mengajukan perkara perdata ke pengadilan terletak sepenuhnya pada pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini pihak penggugat). Pengecualian dari perkara pidana, inisiatif bisa diambil oleh pihak yang dirugikan dalam kasus yang termasuk kualifikasi klacht delicten (delik paduan), tetapi yang membawa ke pengadilan tetap jaksa. 

c. Perbedaan dari Segi Terus atau Tidak Pemeriksaan Perkara 

Sekali suatu perkara pidana telah diajukan oleh jaksa ke pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara itu tidak lagi tergantung pada pihak kejaksaan atau terdakwa. Hal ini disebabkan perkara itu untuk kepentingan publik, bukan kepentingan jaksa atau terdakwa. Sebaliknya, dalam perkara perdata, sekapun perkara telah diperiksa oleh hakim, penggugat dapat saja meminta agar perkara itu dihentikan dan pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan. Hal ini logis, karena adanya perkara itu karena kepentingan para pihak beperkara semata - mata. Pengakhiran persengketaan itu dapat berupa perdamaian atau bisa juga berupa pencabutan gugatan. 

d. Perbedaan dari Segi Aktif dan Pasifnya Hakim 

Di dalam perkara pidana dikenal asas hakim aktif, artinya sekalipun pun penuntut umum tidak mengemukakan hal-hal tertentu kepada pengadilan, tetapi kalau hakim menganggap sesuatu hal itu perlu diketahuinya, maka karena jabatannya (ex officio) hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang tidak diajukan oleh penuntut umum. Sistem hakim aktif ini dikenal dengan istalah “eventual maxim”. Sebaliknya, dalam perkara perdata dianut asas hakim pasif, artinya luas perkara yang dipersengketakan yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa ditetapkan sendiri oleh para pihak yang beperkara, bukan oleh hakim. Sistem hakim pasif ini dikenal dengan istilah “verhandlungs maxim”. Dalam perkara perdata, hakim hanya berkewajiban untuk mengadili seluruh gugatan dan terlarang menjatuhkan suatu putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut. Demikian pula, hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat (di dalam tunnnannya atau petitum). Hal ini sesuai dengan pemeo hukum yang bunyinya: “Secundum allegata indicare” (hakim harus membatasi diri hanya pada apa yang dikemukakan para pihak). Sama halnya, apakah para pihak akan menerima putusan atau akan melakukan banding atau kasasi? Sepenuhnya terserah pada para pihak. 

e. Perbedaan dari Segi Keyakinan Hakim 

Dalam perkara pidana, meskipun terdakwa telah mengakui sesuatu hal, hakim tidak dapat begitu saja menerima pengakuan terdakwa tersebut, kalau hakim tidak yakin dengan hal tersebut. Faktor keyakinan hakim merupakan faktor esensial dalam perkara pidana. Sebaliknya, dalam perkara perdata, jika tergugat mengakui apa yang dituntut oleh penggugat, sekalipun hakim tidak yakin akan apa yang diakui oleh tergugat itu, maka hakim wajib menerima pengakuan itu sebagai sesuatu yang “benar” (secara formal). Jadi, hakim tidak boleh lagi mempersoalkan lebih jauh apa yang diakui tergugat tadi. Perbedaan ini pun tidak terlepas prinsip bahwa perkara pidana memeriksa perkara yang didasarkan pada kepentingan publik, sedangkan perkara perdata hanya berdasarkan kepentingan perseorangan. Melihat hal tersebut, penulis berpendapat bahwa Hukum Acara Perdata memang merupakan penyelesaian sengketa para pihak, tetapi Hukum Acara Pidana tidak bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. 

f. Perbedaan dari Segi Kebenaran yang Ingin Dicapai 

Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel, sebaliknya Hukum Acara Perdata hanya bertujuan untuk mencari kebenaran formal. Di sini perlu diketahui arti dari kebenaran formal, yaitu kebenaran yang secara formal nyata di pengadilan melalui alatalat bukti yang sah. Sebaliknya, kebenaran materiel adalah kebenaran yang sesungguhnya, meskipun tidak nyata di pengadilan. 

g. Perbedaan dari Segi Penetapan Fakta dan Penemuan Hukum 

Dalam Hukum Acara Pidana terdapat suatu kaitan antara penetapan fakta dengan penemuan hukumnya. Berbeda dengan Hukum Acara Perdata, di mana di dalam konsideransnya jelas dipisahkan antara peristiwanya dengan hukumnya. Dalam Hukum Acara Pidana, konsideransnya tidak dipisahkan secara tajam antara peristiwanya dengan hukumnya. Dengan kata lain, terdapat suatu kaitan antara penetapan fakta dan penemuan hukumnya. Yang berkaitan dalam hal ini adalah yang berhubungan dengan faktor -faktor atau unsur-unsur yang menentukan hukumannya. 

h. Perbedaan dari Segi Ukuran Sanksinya 

Di dalam Hukum Acara Pidana, ukuran tentang hukuman (straftoemering) tidak menggunakan ketentuan pembuktian yang umum. Contohnya: Terdakwa bersikaf baik dan sopan dalam persidangan. Ini jelas tidak menggunakan pembuktian lebih lanjut. Berbeda halnya dalam Hukum Acara Perdata, semua hukuman harus didasarkan pada suatu pembuktian fakta melalui alat-alat bukti yang sah. Untuk sanksi-sanksi yang definitif dibutuhkan pembuktian fakta. Di dalam Hukum Acara Pidana dikenal juga sanksi yang sifatnya sementaya, yaitu sanksi sebelum putusan akhir, misalnya: penahanan sebelum vonis hakim. Dalam menahan orang, pada hakikatnya membutuhkan pembuktian yang sifatnya sementara karena belum menggunakan aturan pembuktian yang umum. Dengan kata lain, pembuktian fakta merupakan tuduhan yang meyakinkan, sedangkan tuduhan itu sendiri merupakan pembuktian sementara. 

Khusus mengenai perkara yang memeriksa perbuatan melawan hukum dari penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) ada dua hal yang selalu dipersoalkan, yaitu: 

1) masalah hukum (rechtskwestie), dan 
2) masalah kebijakan (beleidskwestie). 

Sepintas lalu, kelihatan mudah untuk memisahkan antara masalah hukum dan masalah kebijakan, tetapi dalam praktiknya ternyata cukup sulit. 

i. Perbedaan dari Segi Keterikatannya Hakim pada Alat Bukti 

Di dalam Hukum Acara Perdata, hakim semata-mata terikat pada alat-alat bukti yang sah. Ini yang dikenal dengan istilah preponderance of evidence”. Secara harfiah, preponderance of evidence dapat diterjemahkan sebagai pengaruh yang lebih besar dari alat bukti atau keterikatan hakim sepenuhnya pada alat bukti. Berbeda halnya dalam, Hukum Acara Pidana, di mana alat bukti yang sah baru mengikat jika hakim memiliki keyakinan akan kebenaran alat bukti tersebut. Keyakinan hakim merupakan hal esensial bagi perkara pidana. Ini yang dikenal dengan istilah “beyond reasonable doubt” atau alasan yang tak dapat diragukan lagi. Jadi, hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa. Dalam hubungan ini, ada pemeo hukum acara pidana seperti yang disebutkan di atas, Lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak bersalah. Penghukman terhadap terdakwa yang tidak bersalah dapat dikategorikan sebagai cold blooded execution (eksekusi berdarah dingin). Tepat pula apa yang pernah diucapkan oleh seorang pakar hukum dari Perancis, La Bruyerre: Dihukumnya seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berpikir. Dalam, istilah Hermann Moster (1983: 2): Dihukumnya orang - orang yang tidak bersalah oleh pengadilan, dinamainya pembunuhan peradilan. Menurut Hermann Mostar disebutnya, pembunuhan peradilan, yang oleh para yuris sendiri diakui adanya. Bahkan, makna kata itu diperluas, mencakup setiap penghukuman bagi yang tak bersalah dan ini memang benar beralasan. Seorang penjahat yang merugikan orang lain menyangkut hal jiwa, raga, atau harta benda. Ia hanya dapat dianggap melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, menimbulkan cedera badan, atau melakukan perampasan. Bila semua itu dilakukannya tanpa tipu muslihat dan kekejaman, semata-mata karena alasan-alasan nista. Namun bila instansi yang bertanggung jawab atas keadilan menjatuhkan hukum terhadap orang yang tak bersalah, maka instansi itu telah melakukan pembunuhan. Itu bisa berarti pembunuhan jiwa atau pencemaran nama baik atau peruntuhan sukses dan kebahagiaan seseorang beserta kaum kerabatnya. 

J. Perbedaan dari Tuntutan Primer dan Subsider.

Baik di dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam, Hukum Acara Pidana terdapat tuntutan hak yang primer dan subsider. Tuntutan subsider dalam Hukum Acara Perdata ini ada dua kemungkinannya: 
  1. kemungkinan pertama adalah tuntutannya tertentu.
  2. kemungkinan kedua hanya menyatakan mohon putusan seadil - adilnya. Dalam gugatan perdata, petitum dapat mengandung gugatan primer dan subsider. 

Contoh: Kompetensi Kantor Urusan Perumahan (KUP) yang tadinya berdasarkan PP No. 4g Tahun 1963 menangani perkara sewa-menyewa perumahan mengalami perubahan, karena berdasarkan PP No. 55 Tahun 1981 kewenangan itu beralih ke Pengadilan Negeri. Perjanjian sewa-menyewa ada batas waktunya sehingga jika penggugat menggugat dengan gugatan subsider, maka: 
  1. gugatan primernya: agar tergugat diusir untuk mengosongkan rumah,
  2. gugatan subsidernya: penggugat bersedia memberi uang pesangon atau bersedia memberi tambahan batas waktu. 
Lazimnya dalam praktik, gugatan subsider itu berbunyi : Mohon putusan seadil-adilnya”. Dalam Hukum Acara Pidana, contohnya: 
  1. tuntutan primer: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), 
  2. tuntutan subsider: pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). 

k. Perbedaan dari Segi Pemeriksaan 

Pendahuluan dan Persidangan Hukum Hukum Acara Pidana mengenal adanya dua tahap pemeriksaan, yaitu sebagai berikut :

1.) Pemeriksaan pendahuluan Pemeriksaan ini dilakukan sebelum perkara pidana diajukan ke pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan ini masih dibedakan atas: 
  • pemeriksaan di kepolisian, dan
  • pemeriksaan di kejaksaan. 
2) Pemeriksaan di persidangan pengadilan 
Dalam Hukum Acara perdata, penggugat langsung memasukkan gugatannya ke pengadilan, tanpa melalui polisi maupun jaksa. 

Dalam pemeriksaan pendahuluan pada perkara pidana, ada dua hal yang penting:

1) pengumpulan material pembuktian, dan 2) pembuktian yang berhubungan dengan sanksi-sanksi yang bersifat sementara.

Seperti diketahui, dalam perkara pidana ada sanksi yang bersifat sementara, misalnya penahanan sebelum vonis hakim. Namun ada pula sanksi yang bersifat definitif melalui vonis hakim. Sanksi yang bersifat definitif membutuhkan pembuktian peristiwa, misalnya masuk penjara, denda, atau hukuman mati. Sekadar sebagai perbandingan, sita konservatoir tidak dapat kita kategorikan sebagai sanksi sementara dalam perkara perdata. Sita konservatoir hanya merupakan upaya untuk menjamin hak-hak pihak yang beperkara.