Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jenis - Jenis dan Fungsi Alat Bukti Menurut KUHPerdata

Jenis - Jenis dan Fungsi Alat Bukti Menurut KUHPerdata


Jenis dan fungsiDalam hukum acara pidana, alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi. Hal ini dikarenakan seseorang yang melakukan tindak pidana berusaha menyingkirkan atau menghilangkan alat bukti-bukti tulisan dan apa saja yang memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukan oleh para pelakunya sehingga menyulitkan para penyidik, penuntut, dan hakim untuk mengungkapkan kebenaran perbuatan pidana tersebut. Oleh sebab itu, harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri kejadian yang merupakan tindak pidana tersebut. Akan tetapi dalam hukum acara perdata bukti tertulis merupakan alat bukti yang paling utama sehingga di dalam praktik sehari hari dapay dilihat bagaimana para pihak sering datang ke notaris untuk membuy akta jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya. Semu,. nya itu dimaksudkan agar mereka memiliki bukti atas telah terjadinya perjanjian tersebut sehingga apabila terjadi sengketa di kemudian hari, Jika pihak yang diwajibkan tidak memiliki bukti-bukti yang berupa tulisan, maka yang bersangkutan diwajibkan mendapatkan orang-orang yang mengetahui dan telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang dibuktikan tersebut. Orang-orang tersebut di muka hakim di. ajukan sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyak. sikan kejadian yang berlangsung (misalnya dalam perjanjian jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang dipersengketakan tersebut. 


Adapun menurut KUH Perdata maupun RBg/HIR Jenis - Jenis alat-alat bukti dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: 

1. BUKTI TULISAN ATAU SURAT.

Dalam transaksi bisnis, sudah lazim para pihak membuat surat-surat yang mendukung manajemen usahanya, baik yang bersifat administrasi semata maupun surat-surat yang bernilai uang. Surat yang bernilai uang itu dinamakan surat berharga (warde paier/negonable instrument), dan surat yang berharga tidak bernilai uang (papier van . warda/letter of velue). Kadang kala orang awam yang tidak berkecimpung di dunia bisnis acap kali membuat surat-surat yang terkait dengan perbuatan hukumnya, baik dengan menandatangi notaris maupun dengan membuat surat-surat sendiri yang diberikannya meterai. Semuanya dilakukan, baik secara sadar maupun tidak merupakan suatu upaya untuk membela diri dari persoalan hukum jika terjadi sengketa di kemudian hari. 

Dari uraian di atas, lahirlah beberapa bentuk surat sebagai alat bukti sebagai berikut: 

1) Akta 

Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan oleh si pembuatnya, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatannya. Akta itu bisa dibuat di hadapan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri atau tidak di hadapan pejabat, yang sejak awal dibuat dengan sengaja guna pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barangsiapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada Pasal 1874 B.W. Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk digunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani Dengan demikian, tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta, Tanda tangan dalam suatu akta diperlukan untuk identifikasi, yaitu, menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan, dengan penandatanganan itu seseorang diang, gap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan adalah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesial, isasi suatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan waarmerking. 

Ditinjau dari segi hukum pembuktian akta mempunyai beberapa fungsi: 

a. Akta berfungsi sebagai formalitas kausa 
Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Apabila perbuatan hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi.” Dalam hal ini, dapat diambil contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-Pasal 1681, 1682, 1683 KUH Perdata tentang cara menghibahkan serta Pasal 1945 KUH Perdata tentang sumpah di muka hakim, untuk akta autentik. Adapun untuk akta di bawah tanga! seperti dalam Pasal 1610 KUH Perdata tentang pemborongan ker ja, 1767 KUH Perdata tentang meminjamkan uang dengan bunga 1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Jadi akta di sini maksud nya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum. 

b. Akta berfungsi sebagai alat bukti.
Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat akta memang diperuntukkan dan digunakan sebagai alat bukti. Dalam masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk akta. Misalnya, dalam perjanjian jual beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian tersebut. Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran transaksi.” 

c. Akta berfungsi sebagai probationis kausa.
Artinya, akta sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta tersebut merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik. Misalnya, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, hak tanggungan hanya dapat dibuktikan dengan akta hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1996, jaminan fidusia hanya dapat dibuktikan dengan akta jaminan fidusia berdasar Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1999. Berbeda halnya dengan perjanjian jual beli barang. Pembuktiannya tidak digantungkan satu-satunya pada surat perjanjian jual beli tertentu, tetapi dapat dibuktikan dengan keterangan saksi, persangkaan, pengakuan ataupun dengan sumpah, tidak harus dengan akta. 

Akta ini dapat dibagi lagi ke dalam akta autentik, akta di bawah tangan dan akta pengakuan sepihak, yaitu :

a. Akta autentik .
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa: 

“Akta autentik, adalah suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam Surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.

b. Akta di bawah tangan.
Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak dalam HIR. Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg."' 

Dalam Pasal 286 ayat (1) RBg, dinyatakan: 

“dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum"

Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan: 

"sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum"

Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa surat-surat, daftar (register), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah tangan. Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya. Akta di bawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal di atas, akata di bawah tangan ialah:

a. Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan,
b. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang. 
c. Secara khusus ada akta di bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

c) Akta pengakuan sepihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta di bawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak, dari tergugat.” Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian, harus memenuhi syarat: 

1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penanda tangan: 

2. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan. 

Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi, namun membutuhkan bukti autentik atau butuh alat bukti aslinya, di antaranya alat bukti salinan, alat bukti kutipan, dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan, semua alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya." Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat digunakan di kemudian hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut. Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUH Perdata. 

2. TULISAN BUKAN AKTA

Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. 

3. BUKTI DENGAN SAKSI - SAKSI

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persi. dangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberi. tahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan." Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian. Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi “pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. | Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi, apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct. Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR). 

Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut: 

a. Orang yang cakap.
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBg dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus. Kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi, mercka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anakanak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata). Keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata). Kelima orang yang selama proses perkara sidang berJangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata). 

b. Keterangan disampaikan di sidang pengadilan.
Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBg dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan. 

c. Diperiksa satu per satu.
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat w HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBg. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), dan ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara. 

d. Mengucapkan sumpah.
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBg, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan “Sistem Promisoris”. 

e. Keterangan saksi tidak sah sebagai alat bukti.
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterang. an seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain. 

f. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan.
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. 

g. Saling persesuaian.
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuaian atau mutual confirmity antara yang satu dan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang peristiwa atau fakta yang disengketakan. 

4. PERSANGKAAN

Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.54 Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam Pasal 1915 KUH Perdata: “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang " atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.” Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:? 

1. Persangkaan undang-undang (wattelijk vermoeden).
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa. Maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar. 

2. Persangkaan hakim (rechtelijk vermoeden).
Suatu persangkaan adalah suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus-menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi, hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terusmenerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. 

Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUH Perdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapg. kan saksi saksi yang mclihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibukukan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarka, pada pcrzinaan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan Peristiwa perzinaan hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiw, yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, ke arah sutu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan terse. but adalah hakim, maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Adapun jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.” 

Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut: 

1. Persangkaan atas dasar kenyataan (feitelijke/rechtelijke vermoedens atau praesumptiones facti

Dalam hal ini, hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian. Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinaan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami istri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinaan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.” 

2. Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang (wettelijke/rechtsyermoedens atau praesumptiones juris

Dalam hal ini, undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu: 

a. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan. 

b. Praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.



Sumber Hukum :
  1. Kitab Undang - Undang Hukum Acara Perdata
  2. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatria Gultom, Cyber Law Speak Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 100.
  3. Zainal Asikin,Hukum Dagang,Jakarta,PT. Raja Grafindo Persada,2013,hlm 78.