Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hak - Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sekunder (Sementara)

Hak - Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sekunder (Sementara)


Di dalam UUPA telah diatur mengenai hak - hak atas tanah yang bersifat sekunder (sementara) sebagaimana yang telah di atur di dalam pasal 53 UUPA. Macam - macam hak tersebut yaitu hak gadai tanah, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Penjelasan lebih lanjut mengenai macam - macam hak atas tanah yang bersifat sekunder sebagai berikut :

A. HAK GADAI

1. Pengertian Hak Gadai

Hak gadai adalah hak dari pemegang gadai untuk menggunakan tanah kepunyaan orang lain (penjual gadai) yang mempunyai utang padanya, selama utang tersebut belum dibayar lunas (ditebus) oleh penjual gadai, maka tanah tersebut akan tetap berada pada  penguasaan pemegang gadai (Boedi Harsono 1999 : 288)

2. Jangka Waktu Hak Gadai

Dalam praktiknya jangka waktu hak gadai , menurut Urip Santoso (2013 : 137) dapat di bagi menjadi dua yaitu :
  • Hak gadai yang lamanya tidak ditentukan oleh jangka waktu
  • Hak gadai yang lama jangka waktunya telah ditentukan.
Gadai tanah menurut hukum adat memiliki ciri - ciri sebagaimana yang telah di kemukakan oleh Sudikno Mertokusumo (1988 : 7.15) sebagai berikut :
  • Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa
  • Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulang gadikan tanahnya
  • Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera untuk di tebus
  • Tanah yang di gadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi pemilik pemegang gadai bila tidak di tebus.
Gadai tanah  yang menurut hukum adat tersebut digolongkan dalam hak - hak atas tanah yang bersifat sementara, yang dalam waktu singkat  akan di hapus (Pasal 53 jo Pasal 16 Ayat 1 huruf h UUPA). Penghapusan gadai tanah menurut hukum adat disebabkan karena mengandung unsur pemerasan. Sifat pemerasan dari hak gadai adalah selama penjual gadai belum mampu untuk menebus tanahnya, maka tanahnya tetap dikuasai oleh pembeli gadai. Oleh karena itu sebelum di lakukan penghapusan  itu dapat di laksanakan, dalam rangka penertiban dan melindungi golongan ekonomi lemah maka dalam Pasal 7 Undang - Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 telah di atur hal - hal sebagai berikut :

a. Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

b. Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:

(7 + 1/2) - waktu berlangsungnya hak-gadai X uang gadai,
7

dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.

c. Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak-gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.

Ketentuan diatas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa setelah pemegang gadai menguasai tanah selama 7 Tahun maka pemegang gadai telah mendapatkan  hasil yang cukup dari tanah tersebut yang bila di nilai dengan  uang telah lebih dari jumlah uang yang telah dikeluarkannya pada waktu transaksi gadai dilakukan.

3. Hapusnya Hak Gadai

Hapusnya hak gadai dapat di sebabkan oleh :
  • Tanah gadai telah ditebus oleh penjual gadai
  • Hak gadai telah berlangsung 7 tahun atau lebih
  • Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang (pembeli) gadai menjadi pemilik atas tanah yang di gadaikan karena pemilik tanah (penjual gadai) tidak mampu untuk menebus dalam jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam gadai tanah.
  • Tanahnya di cabut untuk kepentingan umum
  • Tanahnya musnah (Urip Santoso, 2013 : 143).

B.  HAK USAHA BAGI HASIL

1. Pengertian dan pengaturannya

Di dalam pasal 1 huruf c UU Nomor 2 tahun 1960  tentang perjanjian  bagi hasil (Tanah pertanian) adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak  dan seseorang atau badan hukum  pada lain pihak yang dalam undang - undang ini  disebut penggarap berdasarkan  perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha  usaha pertanian diatas  tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Hak usaha bagi hasil di atur di dalam UU Nomor 2 Tahun 19960, dengan aturan - aturan pelaksananya adalah :
  • Keputusan  Menteri Pertanian dan Agraria Nomor SK 322/Ka/1960 tentang pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 1960.
  • Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus Dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil.
  • Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil.
  • Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 1960
  • Keputusan Bersama Menteri  Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980, Nomor 714/Kpts/Um/9/80 tentang Petunjuk Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980.
2. Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dalam Hak Usaha Bagi Hasil.

a. Hak dari Pemilik Tanah
  • Pemilik tanah berhak untuk mendapatkan sebagian dari hasil tanah pertanian sesuai dengan telah disepakati oleh kedua belah pihak dan Pemilik tanah berhak untuk melakukan penuntutan  pemutusan hubungan bagi hasil apabila si penggarap telah merugikan kepentingan pemilik tanah.
  • Kewajiban Pemilik Tanah adalah : menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan membayar pajak atas tanah garapan yang bersangkutan.
b. Hak dan Kewajiban dari Penggarap
  • Hak dari penggarap adalah berhak untuk mengusahakan tanah pertanian tersebut dan menerima bagian dari hasil tanah  tersebut sesuai dengan kesepakatan yang telah di perjanjikan sebelumnya oleh kedua belah pihak.
  • Kewajiban dari Penggarap adalah mengusahakan tanah pertanian tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil dari tanah yang menjadi hak dari pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungan dan menyerahkan kembali tanah garapan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik setelah berakhir jangka waktu perjanjian bagi hasil.
3. Jangka Waktu Hak Usaha Bagi Hasil

Pasal 4 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 1960 telah mengatur jangka waktu perjanjian bagi hasil yaitu :
  • Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
  • Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
  • Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi-hasil diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun.
  • Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah-kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan.
Sedangkan menurut hukum adat jangka waktu hak usaha bagi hasil hanya berlaku 1 tahun dan dapat di perpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka waktu tergantung kepada kesediaan dari pemilik tanah, dan tidak ada jaminan bagi penggarap untuk dapat menggarap dalam jangka waktu lama. Keadaan inilah yang menjadi penyebab penggarap bersedia menerima syarat - syarat penggarapan yang berat, tidak adil dan mengandung unsur pemerasaan.

4. Hapusya Hak Usaha Bagi Hasil

Hapusnya hak usaha bagi hasil  (Perjanjian bagi hasil) dapat disebabkan oleh :
  • Jangka waktu berakhir
  • Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri
  • Pemilik tanah meninggal dunia
  • Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam perjanjian bagi hasil
  • Tanahnya musnah.

C. HAK MENUMPANG

Hak Menumpang adalah merupakan hak adat, ketika seseorang diberikan izin untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah milik orang lain, tanah tersebut bukan termasuk tanah tanah hak guna bangunan dan hak sewa, pemegang hak menumpang tidak membayar sesuatu kepada pemilik tanah, akan tetapi menurut pandangan umum pemegang hak menumpang mempunyai kewajiban untuk membantu pemilik tanah untuk melakukan pekerjaan - pekerjaan ringan sehari - hari. Hak menumpang pada hakekatnya adalah "species" dari hak pakai  (Boedi Harsono,1999 :281). Sedangkan di dalam UUPA sendiri tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan hak menumpang tersebut.

1. Sifat - Sifat dan Ciri - Ciri dari Hak Menumpang sebagai berikut :
  • Tidak mempunyai jangka waktu jelas,bisa saja sewaktu - waktu dapat dihentikan
  • Hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu - waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut
  • Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu berupa uang sewa kepada pemilik tanah
  • Hanya terjadi pada tanah pekarangan (tanah untuk bangunan)
  • Tidak wajib di daftarkan ke kantor pertanahan
  • Tidak bisa di alihkan kepada pihak lain yang buka ahli warisnya.
2. Hapusnya Hak Menumpang sebagai berikut :
  • Pemilik tanah sewaktu - waktu dapat  mengakhiri hubungan hukum antara pemegang hak menumpang dengan tanah yang bersangkutan
  • Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan umum
  • Pemegang hak menumpang  melepaskan secara sukarela hak menumpang
  • Tanahnya musnah (Urip Santoso, 2013 :150).

D. HAK SEWA TANAH PERTANIAN

Di dalam UUPA tidak ditemukan dari hak sewa tanah pertanian. Namun Boedi Harsono (1999 : 280) memberikan pengertian Hak Sewa Tanah Pertanian yaitu mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya uang sebagai sewa. Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa Hak Sewa Tanah Pertanian adalah merupakan suatu perbuatan hukum ketika si penyewa diberikan kewenangan untuk melakukan penguasaan tanah milik orang lain dengan membayar uang sewa kepada pemilik tanah dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Dalam sewa tanah pertanian pemilik tanah bisa saja langsung menjadi penggarap dari tanah miliknya yang disewakan kepada orang lain tersebut, akan tetapi bisa saja tanah tersebut digarap oleh penyewa itu sendiri atau menyuruh orang lain yang di percaya sebagai penggarap oleh penyewa tanah tersebut.

1. Hapusnya Hak Sewa Atas Tanah Pertanian yaitu :
  • Jangka waktunya telah berakhir
  • Hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal tersebut diperkenankan oleh pemilik tanah
  • Hak sewanya di lepaskan secara sukarela  oleh penyewa
  • Hak atas tanah tersebut di cabut untuk kepentingan umum
  • Tanahnya telah musnah.



Sumber Hukum :

1. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria

2. Undang - Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapa Luas Tanah Pertanian

3. Undang - Undang Nomor 2 tahun 1960  Tentang Perjanjian  Bagi Hasil

4. Doktrin atau Pendapat Para Ahli