Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prosedur Hukum Jika Tergugat Tidak Mau Melaksanakan Putusan Pengadilan

Prosedur Hukum Jika Tergugat Tidak Mau Melaksanakan Putusan Pengadilan

Prosedur Hukum Jika Tergugat Tidak Mau Melaksanakan Putusan Pengadilan!

Di dalam ketentuan Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 207 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBg”), ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan, yaitu 
  1. dengan cara sukarela (dalam hal pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan) tersebut, 
  2. dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. 
M. Yahya Harahap dalam bukunya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (hal. 11) menyatakan pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Apabila pihak yang kalah  telah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Maka, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dan menjalankan putusan secara eksekusi.

Sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) HIR, kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama dan dalam praktik peradilan dikenal dua macam eksekusi yaitu:

1. Eksekusi riil atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 218 ayat (2) Rbg, dan Pasal 1033 Reglement of de Rechtsvordering(“Rv”) yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu;

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoopsebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR, dan Pasal 215 Rbg. Eksekusi ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur. 


Jadi Dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, maka dapat dilakukan eksekusi paksa melalui pengadilan tingkat pertama dengan prosedur sebagai berikut:
  • Bagi pihak yang menang dalam suatu perkara maka harus mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan tingkat pertama agar putusan itu dilaksanakan;
  • Ketua Pengadilan tingkat pertama memanggil untuk dilakukan teguran (aanmaning);
  • Termohon dalam hal ini, eksekusi tetap tidak mau menjalankan putusan, ketua pengadilan tingkat pertama mengeluarkan penetapan berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan milik termohon eksekusi;
  • Terhadap barang lelang harta milik termohon eksekusi dan diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi sesuai dengan angka yang tercantum dalam amar putusan.
Kemudian Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?  Kami akan mejelaskan satu persatu sebagai berikut :

A. Putusan Perkara Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.

Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).

c. Putusan kasasi Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:
“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”
Jadi sobat Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

B. Putusan Perkara Perdata

Menurut Retno wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
  • apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  • apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  • apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  • apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  • apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  • apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Undang - Undang MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA)Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembalikeduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UUMA).


Demikian artikel yang kami buat , Semoga bermanfaat untk kita semua, Terima kasih.


Dasar Hukum:

  1. Herzien Inlandsch Reglement
  2. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi